Memerdekakan Pikiran

Historiografi Indonesia tentu tidak banyak menyebut nama Noto Soeroto apalagi membahasnya. Noto Soeroto yang seorang bangsawan Jawa adalah cucu dari Paku Alam V. Tambahan, salah satu pahlawan nasional Indonesia, Soewardi Suryaningrat, juga cucu dari Paku Alam V. Keduanya  sama-sama merupakan cucu dari penguasa Yogyakarta abad 19. Lainnya, mereka juga sama-sama dikirim belajar ke Belanda. Itu kesamaannya, lain pula perbedaanya.  Dalam pembukuan sejarah indonesia, Soewardi jelas disebut sebagai orang yang berjasa dalam kemerdekaan indonesia. Tentu tidak halnya pada Noto. Noto hanya dikenal sebagai anak priyayi yang belajar ke Belanda dan menjadi salah satu pendiri  dan pemimpin Perhimpunan Hindia (Perhimpunan Indonesia). Kemudian dia keluar dari Perhimpunan Indonesia dan mendirikan Perserikatan Indonesia-Belanda. Keterangan sampai di titik  ini tandas dalam buku sejarah Indonesia. Tidak ada pembahasan pemikirannya, kemelut pendalamannya seperti para tokoh pendiri bangsa lainnya.

Dalam historiografi Belanda pun, Noto lebih dikenal sebagai seorang pujangga yang banyak terilhami oleh Rabrindanath Tagore. Memang dalam dunia pujangga, Noto telah diakui kepiawaiannya. Telah banyak puisi karya Noto yang dalam bahasa Belanda dialihbahasakan ke dalam berbagai bahasa lain seperti Jawa, Indonesia, Perancis, Jerman, serta Inggris. Juga, komposer seperti  Bernhard van den Sigtenhorst Meijer menciptakan nada-nada untuk puisi-puisi karya Noto.

Namun, pemikiran politik Noto tidak banyak diungkap dalam buku sejarah Indonesia. Padahal Noto juga “terlibat” dalam pembahasan kemerdekaan Indonesia bersama Founding Father lainnya. Di sini ada penekanan kata terlibat. Keikutsertaan Noto dalam hal pembahasan kemerdekaan Indonesia lebih tepat disebut sebagai keikutsertaan Noto dalam perdebatan masalah kemerdekaan Indonesia. Noto sendiri tidak sepaham dengan garis Soekarno-Hatta. Noto memang pendukung kemerdekaan Indonesia, tentunya. Akan tetapi, Noto berpendapat saat itu sebaiknya Indonesia tidak langsung merdeka seperti yang diinginkan garis Soekarno-Hatta.

Dalam biografi Noto yang ditulis René Karels,  seorang Belanda, disebutkan bahwa Noto justru berkehendak menghalangi gagasan kemerdekaan langsung Indonesia. Menurut pemikiran Noto, kemerdekaan itu harus berlangsung lambat untuk benar-benar disiapkan. Namun, gagasan ini tentu tidak mendapat tempat sama sekali pada zaman itu. Arus pada zaman itu tentu jelas bahwa para nasionalis menginginkan kemerdekaan yang secepat-cepatnya.

Tentu ada hal menarik dari gagasan Noto tentang kemerdekaan. Noto menginginkan adanya persiapan untuk kemerdekaan bangsa ini. Persiapan itu adalah tentang pendidikan pemikiran. Menurut Noto seperti disebutkan Karels, bangsa ini perlu terlebih dahulu dididik untuk merdeka secara pemikiran sebelum meminta merdeka secara administrasi. Akan tetapi, gagasan ini mentah ditolak oleh garis Soekarno-Hatta saat itu. Menurut garis Soekarno-Hatta, Indonesia hendaknya merdeka terlebih dahulu, baru kemudian bangsa ini dididik untuk memiliki pemikiran yang merdeka.

Namun, tentu yang menarik bukan perdebatan tentang mana yang sebaiknya didahulukan: merdeka secara administrasi atau merdeka secara pemikiran. Faktanya, sekarang Indonesia sudah merdeka secara administrasi. Hal yang menjadi menarik kemudian adalah apakah merdeka secara pemikiran di bangsa ini sudah terjadi sebagaimana yang diharapkan Noto dan juga garis Soekarno-Hatta? Berhasilkah bangsa ini berdiri dengan kaki sendiri? Sudahkah?

Pada kenyataannya, tidak susah menyebut contoh bahwa bangsa ini belum merdeka secara pemikiran. Kejadian pengklaiman budaya Indonesia oleh negara lain, misalnya. Itu menunjukkan bahwa bangsa ini tidak menghargai budayanya sendiri sehingga ketika ada bangsa lain yang mengklaim, bangsa ini baru heboh dan menyadari budaya itu milik bangsa ini. Tidak bangga terhadap budaya sendiri, menurut penulis adalah salah satu bentuk belum merdekanya bangsa ini secara pemikiran. Bangsa ini belum mencintai atau bahkan menyadari budaya mereka sendiri. Bangsa ini lebih terpesona dengan budaya bangsa lain. Bahkan menganggap tinggi budaya bangsa lain. Bentuk seperti ini adalah ketidakmerdekaan secara pemikiran. Dengan kata lain belum menghargai apa yang kita miliki berarti kita belum mengakui keberadaan diri kita sendiri. Bukannkah secara pemikiran itu berarti kita belum merdeka?

Ada juga contoh sederhana lain. Kegagalan koperasi di Indonesia. Koperasi lahir dari semangat kemandirian. Dengan koperasi, orang-orang berusaha menghargai apa yang dimilikinya. Lalu, memanfaatkan apa yang dimiliki untuk secara bersama-sama berjuang demi kondisi yang lebih baik. Namun, faktanya semangat koperasi tersebut tidak terlihat dari koperasi yang berkembang di Indonesia. Koperasi di Indonesia tidak memiliki semangat mandiri. Koperasi di Indonesia justru didirikan agar uluran tangan dari orang lain terutama pemerintah bisa diperoleh. Ini tentu bukan semangat kemerdekaan. Bukankah ini sebuah semangat menghamba?

Belum merdekanya secara pemikiran tentu akan berdampak pada pelaksanaan pengelolaan negara ditingkat praktis. Tentu akan banyak kebijakan pemerintahan yang tidak mandiri dan merdeka. Bukan menjadi rahasia lagi bahwa banyak para pengambil kebijakan di negeri ini tidak bisa terlepas dari cengkram kepentingan kelompok atau bangsa lain dengan mengabaikan apa yang ada di negeri ini. Memang, di zaman globalisasi seperti sekarang sebuah negara tidak bisa terlepas dari kepentingan-kepentingan negara lain. Akan tetapi, seharusnya jika kita merdeka secara pemikiran, kita bisa menentukan nasib sendiri. Bukankah menentukan nasib sendiri adalah hasil dari pemikiran yang merdeka? Bukankah merdeka pemikiran merupakan manifestasi dari eksistensi manusia?

Adanya fakta  bahwa bangsa ini belum merdeka secara pemikiran hingga detik ini bukan terjadi setelah kemerdekaan saja. Semangat menghamba itu sudah ada sejak lama. Fakta-fakta sejarah menunjukkan bahwa sebagian besar suku bangsa di Indonesia menganut faham feodalisme. Feodalisme tentu mengebiri kemerdekaan seseorang. Feodalisme pada masa lalu sepertinya masih berbekas hingga detik ini. Orang-orang di bangsa ini saat ini memang tidak menghamba dalam arti sesungguhnya. Akan tetapi, bentuk lain dari semangat menghamba itu tetap ada. Sepertinya, perjuangan Kartini tidaklah cukup. Kita tahu semangat yang diperjuangkan Kartini adalah semangat untuk bebas secara pemikiran: perempuan seharusnya bisa menentukan nasib sendiri tanpa tergantung dan menghamba pada lelaki karena perempuan punya pemikiran sendiri.

Kembali pada gagasan Noto dam founding father lainnya, bahwa sebiuah bangsa perlu merdeka secara pemikiran. Kemerdekaan secara administrasi lambat laun tidak akan berarti apa-apa jika tidak ada kemerdekaan secara pemikiran. Lambat laun juga, bangsa ini akan sangat bergantung pada pemikiran bangsa lain jika tidak mampu memerdekakan pemikiran sendiri.

(Riyan Hidayat)

Leave a comment