Matinya Pergerakan Mahasiswa di Kampus Ini (?)

Pada Senin, 5 September 2011, terjadi sebuah peristiwa yang langka di kampus ini. Pada hari itulah semua elemen yang ada di kampus ini bersuara dengan lantangnya menggugat kondisi kampus kini. Namun, pada hari dan momen itu pula, ada sedikit pertanyaan yang mengganggu: Dimanakah kalian para mahasiswa?

Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi jika isu ini sangat rentan dipolitisasi. Bahkan dengan seruan ‘Gulingkan Rektor!’ aroma politisasi menjadi sangat kental. Semua pihak sudah mewanti-wanti adanya hal ini. Ketakutan dan kehawatiran isu ini hilang ditengah jalan berkat lobi-lobi politik yang terjadi bukanlah suatu hal yang berlebihan. Lokalisir masalah menjadi hanya sekedar isu DHC telah terlihat sebagai upaya pengaburan atas masalah yang lebih besar lagi, yaitu buruknya tata kelola di universitas ini.

Isu bahwa aksi ini dikomandoi oleh orang-orang Fakultas Kedokteran yang ingin kursi rektor kembali, ataupun didukung oleh gerakan tertentu telah akrab ditelinga. Apresiasi jelas patut diberikan kepada Thamrin Tomagola dan kawan-kawan yang mampu membuat rancangan skema yang baik untuk meminta pertanggungjawaban Rektor UI atas masalah yang terjadi, terlepas dari niatan mereka sesungguhnya. Namun, kedudukan mereka sebagai alumni yang memiliki kerentanan politik menyangkut isu ini menjadi kelemahan tersendiri. Bahkan perkembangan terakhir, sebuah surat kaleng yang berisi kutipan-kutipan pesan yang menggambarkan adanya skenario besar penggulingan dan perampasan kursi rektor beredar di kalangan kampus. Entah siapa yang membuatnya, namun yang pasti hal ini telah menimbulkan kecurigaan-kecurigaan yang terjadi antarpihak yang pada dasarnya memiliki musuh bersama.

Semua hal itulah yang seharusnya membuat gerakan mahasiswa menjadi yang terdepan dalam mengawal isu ini. Elemen inilah yang paling netral, yang tidak memiliki kepentingan apapun terkait posisi rektor.

Namun, kenyataannya waktu terus berlalu semenjak isu DHC mengemuka di publik luas, dan bahkan hingga kini pun tidak terlihat akan seperti apa gerakan yang akan dibangun oleh para ketua lembaga ‘pemerintahan’ di kampus ini. Padahal merekalah yang seharusnya menjadi produser dan sutradara pergerakan ini.

Secara fisik memang mahasiswa hadir di dalam forum atau mimbar tersebut. Unsur mahasiswa dalam forum tersebut juga memang ‘berbicara’. Wakil MWA Unsur Mahasiswa, Andreas Sanjaya, berbicara mengenai kondisi sebenarnya di UI dan MWA pada khususnya. Ketua BEM UI 2011, Maman Abdurrahman, juga berbicara tentang masalah ini. Dzulfian Syafrian selaku Ketua BEM FEUI 2011 yang juga sebagai tuan rumah pun ikut berorasi. Namun, bukan itu permasalahannya. Mulai dari isu ini digulirkan hingga terbentuk menjadi bola salju yang besar, mahasiswa dengan pergerakannya bisa dibilang absen. Bahkan di dalam forum ini pun, terlihat jelas bahwa sang creator sesungguhnya adalah Effendi Ghazali, Thamrin Tomagola, dkk. Sedangkan mahasiswa? Hanya pemanis mungkin.

Kelambanan dalam bergerak semakin terlihat ketika isu ini begitu dinamis bergerak. Ketua BEM salah satu fakultas sempat mengakui hal tersebut. Dan bahkan konsolidasi internal dari mereka, baik itu perihal isu dan tuntutan yang akan dibawa ataupun mengenai konsolidasi gerakan, pun baru muncul hari-hari terakhir ini.

Menanggapi kritik ini Maman Abdurahman, Ketua BEM UI 2011, berusaha mengklarifikasi dengan menyatakan bahwa sebenarnya dalam renstra awal yang mereka buat memang aksi dan gerakan dalam mengkritik kebijakan kampus baru akan dilakukan setelah hari pertama kuliah, yaitu tanggal 12 september. Ini dilakukan dengan pertimbangan agar segala urusan mengenai advokasi untuk mahasiswa baru telah selesai sehingga aksi dan gerakan yang mereka buat nantinya tidak akan berpengaruh ke usaha advokasi tersebut. Maman juga berusaha meyakinkan bahwa kelambanan mereka dalam bergerak bukan berarti mereka diam, tapi sedang mempersiapkan bahan-bahan kajian kebijakan kampus yang akan digunakan sebagai senjata bagi gerakan ini. Andreas Sanjaya, wakil MWA Unsur Mahasiswa UI, pun senada “Jadi, tunggulah panasnya kampus setelah liburan nanti.”

Waktu terus bergulir dan entah sampai kapan isu ini dapat terus berkembang. Ide enam minggu sebagai waktu untuk konsolidasi isu dan gerakan adalah waktu yang terlalu lama dalam bergerak. Cara konservatif seperti melakukan pencerdasan dengan seminar, misalnya, dan lain sebagainya sudah tidak sepatutnya digunakan melihat situasi yang begitu dinamis. Pendulum isu terus bergerak dimana setiap kali berayun perlu disikapi dan (lagi-lagi) memerlukan gerakan mahasiswa yang terpimpin, cepat, dan berargumen kuat.

Besar harapan bahwa gerakan yang dibangun bukanlah gerakan BEM UI semata ataupun gerakan-gerakan parsial lainnya yang terpecah dan tidak jelas polanya. Karena sesungguhnya yang jadi tantangan besar sebenarnya bukan pada pertanyaan apakah sudah memiliki rencana gerakan atau tidak. Tapi bagaimana membuat gerakan itu terkonsolidasi menjadi sebuah gerakan besar, sebuah gerakan atas nama seluruh mahasiswa Universitas Indonesia. Fokuskan dan perjelas isu/tuntutan yang ingin diajukan, karena lewat cara itulah semua elemen mahasiswa dapat disatukan.

Yang terakhir, apakah mahasiswa sudah dewasa untuk bersikap kritis tanpa terbawa arus yang dibawa oleh orang-orang yang berkepentingan dan media yang sedang ‘bersuka hati’ mendapatkan berita yang akan terus diikuti oleh para akademisi dan pemerhati pendidikan di seluruh Indonesia. Tidak dengan mudah ‘tergigit’ atau ‘terpancing’ dengan arus yang mengalir saat ini. Perlu ilmu ‘mendengarkan tanpa keras kepala’ agar mahasiswa universitas Indonesia ini tidak sekedar menjadi agen perubahan negaranya, tetapi juga agen perubahan di kampusnya, Universitas Indonesia.

(Triasa Agung Laksana)

Leave a comment